Ciplukan memiliki banyak khasiat salah satunya mengobati scleroderma. |
Membaca
artikel berjudul Sumatini Dewi Raih Gelar Doktor Berkat Ciplukan yang dishare
melalui Grup WA Kagama Lampung, saya langsung tertarik. Apalagi artikel ini
sudah diterbitkan di media online jawapost.com
pada 17 Juli 2017, artinya artikel ini bukan hoax karena diterbitkan oleh media resmi dan memiliki nara sumber
yang jelas.
Kisahnya
sangat menarik, tentang konsultan reumatologi RS dr Hasan Sadikin, Bandung, Sumartini
Dewi yang berhasil meneliti khasiat ciplukan dalam penyembuhan sceloderma. Dosen
FK Universitas Padjadjaran ini mulai melakukan penelitian tentang ciplukan
sejak 2015.
Dia
terinspirasi dari kesembuhan pasiennya yang menderita sceloderma padahal saat
itu kondisi pasien sudah sangat drop. Sceloderma sudah menyerang paru-paru
pasien yang sedang hamil tersebut sehingga sulit bernafas karena paru-paru
tidak mengembang.
Scleroderma
merupakan kelainan sistem imun atau kekebalan tubuh. Kulit penderita scleroderma cenderung mengeras, ujung jari
juga akan mengalami luka karena pembuluh darah menyempit. Jika menyerang
paru-paru, jantung, ginjal, dan saluran pencernaan maka dapat berdampak fatal.
Sumartini
menyarankan pasien untuk melakukan
kemoterapi, tapi pasien menolak karena secara ekonomi tidak mampu. Akhirnya
pasien yang sudah berbulan-bulan mengonsumsi obat kimia itu menyerah dan
meminta pulang.
Akhirnya
Sumartini pun angkat tangan dan menyetujui keinginan pasien untuk pulang, tapi
dia menyarankan pasien untuk mengonsumsi air rebusan buah ciplukan, sebab dia
pernah menonton sebuah hasil penelitian melalui you tube bahwa ciplukan mengandung zat yang mengurangi dampak
kanker payudara.
Namun, karena kesulitan mendapatkan buah ciplukan, beberapa
hari kemudian, pasien datang lagi ke klinik Sumartini menanyakan apakah boleh merebus daun dan
tangkai ciplukan. "Saya sebenarnya sudah
angkat tangan. Lalu, saya perbolehkan pasien itu mengonsumsi daun dan batang
ciplukan juga,” tutur istri Soerachman Dwiwaloejo ini.
Tiga
bulan berlalu, pasien tidak pernah datang lagi, Sumartini sempat berpikir
pasien sudah meninggal dunia. Namun, beberapa hari kemudian, pasien datang ke
kliniknya dengan kondisi yang semakin membaik, kulit pasien yang semula kisut
sudah segar dan berlemak. Pasien juga
menyatakan sudah tidak merasa sesak nafas lagi. ”Dalam tiga bulan, berat
badannya naik 5 kilogram (kg). Bagi penyandang scleroderma, itu merupakan
perkembangan bagus,” ujar Sumartini.
Peristiwa
inilah yang kemudian menginspirasi Sumartini untuk melakukan penelitian tentang
khasiat ciplukan bagi pasien scleroderma. Mulai 2015, dia mengambil sampel
secara acak pada pasien yang berobat ke RS Cipto Mangunkusumo dan RS dr Hasan
Sadikin.
Dia
membagi pasien menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang diberi 250 mg ekstrak
ciplukan, diminum tiga kali sehari selama 12 minggu sebagai pendamping obat
kimia metotreksat, dan kelompok yang tidak diberi ekstrak ciplukan hanya
mengonsumsi metotreksat saja.
”Hasilnya
(ekstrak ciplukan) memperkuat
metotreksat dan efek sampingnya sangat minim. Biasanya, kalau minum
metotreksat, ada efek samping. Tapi, dengan minum ekstrak ciplukan, efek
sampingnya tidak ada,” ujarnya.
Setelah
beberapa bulan, sekitar 20 pasien yang
mengonsumsi ektrak ciplukan terlihat membaik. Bahkan, mereka yang sclerodermanya
belum parah cenderung seperti orang sehat. Hasil penelitian ini mengantarkan
Sumartini meraih gelar Doktor di FK Universitas Indonesia (UI) Rabu, (12/7/2017). Kini, dia fokus mengurus hak
kekayaan intelektual (HKI) atas hasil penelitiannya tersebut. Penelitian pun
terus dikembangkan. Dia ingin mengembangkan pengobatan tersebut hingga seluruh
Indonesia. (R)
EmoticonEmoticon